Home | About | Blog | Contact

ᵔᴥᵔ Rane

Ketiak Netizen

Catatan: Versi audio ada di akhir artikel ini.

Sejak peristiwa “Garuda Biru” tanggal 22 Agustus 2024 saya terus mencerna dan mencerna semua informasi yang didapat karena ingin sekali mengabadikannya di jurnal pribadi ini, seperti biasa. Tentu buat arsip sendiri dan buat yang mau baca atau dengar.

Nah, pagi ini saya merasa semua informasi yang masuk sudah cukup memicu ilham untuk mulai menulis. Sudah terbayang temanya: "Ungkapan kekecewaan pada seseorang yang 10 tahun lalu amat saya kagumi." Tapi baru masuk dua paragraf saja tiba-tiba pikiran diberondong macam-macam pertanyaan, kalau tidak bisa disebut keraguan.

“Ada yang tersinggung nggak ya?”

“Bakal diprotes nggak ya?”

“Udah cukup akurat belum ya tulisan gue ini?”

“Waduu, kalau gue dituntut gimana? Iya kalau dituntut doang. Kalau di… ah sudahlah..”

“Gimana kalau ada tukang bakso pakai HT nongkrong di depan rumah? Waduu..”

“Ah lebay lo, ndut! Who do you think you are? Rocky Gerung?”

Oke, sebagai (mantan) jurnalis yang menghabiskan kebanyakan masa di era Orde Baru saya cukup percaya diri dengan apapun konten yang saya bagi ke publik lewat blog, podcast dan platform daring lainnya, termasuk ketika saya ngompol alias ngobrolin tema politik (ya kaan anak ORBA. Main singkatannya aja masih ala ORBA).

Tapi ketika saya diberondong diri sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan tadi, lama-lama jadi berpikir juga: "Waduh, apa kita sedang kembali ke masa itu lagi?"

Yang membuat saya bergidik adalah karena membayangkan hal yang jauh lebih seram lagi dari masa ORBA.

~~~

Dulu kebebasan berekspresi di kalangan rakyat itu barang langka. Kalaupun ada, wujudnya lebih tersirat lewat ungkapan-ungkapan, sindiran dan humor yang dalam istilah almarhum Gus Dur adalah menunjukkan sikap penuh pretensi yang sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut beliau itulah senjata ampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup dengan menjaga jarak dari keadaan yang dinilai tidak benar. Salah satu caranya dengan memperlihatkan kebodohan yang padahal jauh berbeda dari kenyataan.

Salah satu dari sekian juta contoh adalah banyolan trio Warkop, Dono (almarhum), Kasino (almarhum) dan Indro, untuk menunjukkan betapa rakyat dulu dibuat sangat takut pada aparat keamanan. Saya masih ingat mendengar banyolan ini di radio dulu. Kurang lebih begini jalan ceritanya.

Waktu berdiri di atas bis yang penuh sesak, si Fulan merasakan kakinya diinjak bapak-bapak tinggi besar yang berdiri di sebelahnya.

Diapun bertanya dengan sopan, “Nganu.. Permisi. Maaf, bapak tentara ya?”

“Bukan,” kata si bapak.

“Bapak polisi?” tanyanya lagi dengan sopan.

“Bukan,” jawab si bapak lagi.

“Ooh, bapak pasti Hansip ya?”

“BUKAN!” Si bapak mulai kesal. “Apaan sih nanya-nanya melulu?” bentaknya.

Si Fulan tidak kalah galak, dan membentak lebih keras: “KAKI GUE LU INJEK WOI!”

Hingga kini lawakan klasik itu masih bikin saya nyengir sendiri karena teringat masa-masa itu. Masa-masa ORBA. The Good Old Days. Walaupun mungkin baru sekarang disebut begitu. Kalau dialami dulu rasanya menakutkan.

Waktu masih siaran pagi di salah satu radio swasta di Jakarta dulu saya pernah didatangi orang yang mengajak kenalan lalu tiba-tiba dia mengajak ngobrol panjang tentang kondisi negara. Pemicunya adalah becandaan saya di udara pagi itu yang nyerempet ke tema politik. Istilah sekarang adalah becandaan pinggir jurang. Ujung-ujungnya dia mengaku seorang petugas intelijen yang katanya hanya ingin ngobrol saja. Saya sih tidak percaya. Mana ada intel ngaku. Tapi sejak itu saya selalu menghindar kalau diajak ketemu. Ngeri, cuy. Ngeri!

Nah, kalau itu saja sudah bikin ngeri, yang pagi ini membuat saya bergidik adalah karena membayangkan dua hal yang jauh lebih seram lagi dari masa itu: Netizen dan “Netizen,” atau dalam istilah saya Netizen Organik dan Netizen Non-Organik.

Netizen organik itu menakutkan karena bisa berupa kekuatan massa sangat besar, spontan, tidak ada yang mengkoordinir, tidak bisa ditebak gerakannya dan kerapkali tidak berlandaskan fakta. Merekalah kekuatan yang berada di balik istilah populer sekarang: Viral!

Sementara netizen non-organik seringkali lebih mengerikan. Karakteristiknya kurang lebih sama, tapi mereka punya satu tujuan yang sama, apapun itu, dan bahan bakar pemersatunya seringkali adalah fulus, uang, duit. Kalau sekarang istilahnya buzzer, atau lebih lengkap lagi BuzzerRp.

Mau organik mau non-organik, para netizen ini selalu mengerikan karena satu hal: Kita tidak pernah tahu siapa mereka. Itu yang membuat saya bergidik. Jujur saya takut! Apalagi membayangkan jangan-jangan saya juga bagian dari netizen itu. Kita adalah bagian dari netizen itu.

Mau yang lebih bikin bergidik lagi? Ada peraturan yang namanya Undang-undang ITE yang menurut saya sangat multitafsir dan masih harus ditinjau ulang oleh para perumus undang-undang di Senayan sana yang baru saja kita demo bersama.

Hal-hal inilah yang seharusnya diwaspadai oleh para konten kreator atau siapapun yang mau menyampaikan opini atau ekspresi secara publik lewat media sosial. Kalau buat saya pribadi yang penting ada data, ada fakta dan jangan menyerang hal yang sangat bersifat pribadi, siapapun dia.

Ada satu contoh yang masih sangat hangat, yaitu viralnya ketiak istri dari ketua partai muda, anak presiden dan pengusaha pisang itu. Kita tidak tahu siapa yang pertama menyulutnya tapi tiba-tiba saja bau ketiaknya jadi viral seolah-olah mereka semua pernah menciumnya beramai-ramai. Jujur saya sendiri kurang nyaman. Okelah soal jet pribadi atau soal roti 400 ribu perak itu masih masuk akal untuk dipertanyakan. Tapi soal bau ketiak?

Come on, guys. Emang sampai secemen itu perjuangan kita untuk menjaga demokrasi di negara kita tercinta?



Ciputat, 25 Agustus 2024

Versi audio dari artikel ini bisa didengarkan di sini.

Share artikel ini lewat Whatsapp.

ᵔᴥᵔ

-Tambahan: Ada kisah menarik tentang Gus Dur saat menuliskan kata pengantar untuk buku yang dulu sangat populer: Mati Ketawa Cara Rusia. Bisa dibaca di sini.


#go-blog #ngompol