Home | About | Blog | Contact

ᵔᴥᵔ Rane

Maaf

Catatan: Artikel ini diperbaharui tanggal 8 Agustus 2024 dengan menambahkan beberapa detail baru

Kalian pernah menghitung berapa kali kita meminta maaf dalam sehari? Coba ingat dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Coba benar-benar ingat. Belum ingat? Yakin? Coba ingat-ingat betul. Yah, maaf kalau terkesan ngotot atau memaksa, tapi..

Eh, tunggu sebentar. Barusan saja beberapa detik lalu, beberapa kata yang lalu, saya minta maaf. Maaf, udah kebiasaan bos. Nah maaf lagi kan tuh. Sori. Lah, maaf lagi.

Bangsa kita adalah bangsa peminta maaf. Ini menurut saya loh. Coba ingat sekali lagi, kapan terakhir kalian menggunakan kata maaf dalam keseharian? Yakin tidak pernah? Yakin tidak pernah bilang begini misalnya:

“Maaf, WC di mana ya?”

“Maaf bu, jeruk ini sekilonya berapa ya?

“Maaf, bisa geser sebentar? Saya mau keluar."

“Anu maaf, ritsletingnya kebuka tuh”

Malah sekarang lagi trend orang-orang yang minta maaf di media sosial. Iya kan?

***

Pernah dengar nama Mpok Minah, salah satu tokoh di film seri komedi Bajaj Bajuri yang populer di awal 2000-an? Mpok Minah yang selalu mengawali kalimatnya dengan kata maaaaaf itu loh. Saya nyaris yakin penulis naskah Bajaj Bajuri menciptakan karakter Mpok Minah itu sebagai bentuk parodi dari kebiasaan di masyarakat kita yang memang suka minta maaf, karena Mpok Minah memang adalah kita. Kita yang suka sekali menggunakan kata maaf, bahkan walaupun itu bukan gara-gara ulah kita. Berapa banyak diantara kita yang kalau mau menagih utang saja diawali dengan kata maaf. Menagih loh ya. Bukan ditagih!

“Maaf, sudah ada rejeki belum ya? Maaf banget nih. Saya lagi butuh uang buat bayar uang sekolah anak.”

Ada yang pernah begitu? Ayo tunjuk tangan! Manggut-manggut juga boleh. Dalam hati juga boleh. Tapi poin saya adalah kebiasaan minta maaf itu sudah jadi bagian dari karakter bangsa kita.

Nah, pertanyaannya sekarang, kita memang bangsa peminta maaf, yang suka mengumbar kata maaf. Tapi apakah kita ini bangsa yang suka memberi maaf? Contoh paling gampang. Coba lihat orang-orang yang setelah berulah lantas minta maaf di media sosial itu? Seolah-olah yakin dia akan dimaafkan. Tapi coba lihat di bagian komentarnya. Ada kata memaafkan di situ? Jarang kayaknya.

Memberi maaf itu buat saya jauh lebih berat dari meminta maaf apalagi kalau kita sudah merasa ditipu, dikerjai, dizalimi, disakiti lahir dan batin.

Betul agama manapun mengajarkan kita untuk memaafkan sesama. Namun tetap saja saya merasa susah memberi maaf kalau hati ini sudah tersakiti. Apalagi kalau sampai fisik ikut jadi korban. Minimal buat usia saya darah tinggi akan naik. Rugi.

***

Sori. Eh minta maaf lagi tuh. Saya tidak mewakili siapapun, tapi saya bukan pemaaf yang baik. Sampai kemudian seorang teman yang saya hormati memberikan apa yang dia sebut sebagai “jalan tengah.” Waktu itu saya sedang ngobrol sambil curhat tentang betapa sangat kesal saya pada seseorang yang dulu saya hormati, kagumi, malah saya mempercayakan hidup dan masa depan saya kepadanya. Tapi kemudian dia minta maaf setelah menyalahkangunakan kepercayaan saya itu.

Teman saya mulai memberikan solusi dengan bilang begini: “Memang rasa sakit itu tidak mudah hilang. Itulah asal muasal kenapa kita sering sekali susah memberi maaf kepada orang yang sudah menyakiti kita.”

Saya buru-buru menyela. “Tapi jangan bilang itu sifat yang sangat manusiawi ya. Klise bos!”

“Lha klise tapi benar kan? Namanya juga manusia,” katanya.

“Heh, memangnya saya sapi? Saya juga manusia dan tidak bisa memberi maaf itu kan sifat yang juga manusiawi?” saya mulai bosan dengan obrolan ini.

“Oke. Setuju. Benar sekali. Seringkali kita tidak akan pernah lupa pada perilaku orang yang sudah menyakiti kita sekuat apapun kita berusaha. Itu wajar. Itu memang sifat manusiawi juga. Sabar bosque, sabar.." dia merasakan ketidaksabaran saya.

Sebelum saya buka mulut, buru-buru dia menambahi, "tapi kita bisa kan tetap terus mengingat ulah orang itu namun tanpa ada rasa amarah dalam diri. Soalnya jelas-jelas itu bakal menyedot energi dan menjadi ganjalan dalam hidup. Capek bosque. Kita yang rugi. Awas tekanan darahmu bosque” tambahnya.

“Oke, gimana caranya?” tanya saya malas-malasan, tapi jujur agak penasaran juga menunggu jawabannya.

Dia mendekat dan berbisik: “Maafkan dulu dirimu.”

Bah, Maafkan dulu dirimu.. Tapi saya lantas terdiam.

Dia kemudian tersenyum sambil menyodorkan sebatang rokok kretek dari merek favorit kami berdua yang langsung kami nyalakan. Asap mengepul kemana-mana di tengah malam.

Sambil menghembuskan asap rokok dia bilang, "Lha itu sebenarnya arti "forgiven not forgotten. Ingat nggak? Kau sendiri yang menulis itu beberapa hari lalu di status media sosialmu dengan huruf besar dan tanda seru tiga kali."

Saya masih terdiam sambil menikmati aroma kretek yang mengepul ke udara.

Dia kembali bilang, "Bro, memaafkan itu manfaatnya buat diri kita sendiri. Bukan buat orang yang memohon maaf."

- Ciputat tepat ketika keamanan kompleks memukul tiang listrik satu kali di pagi 6 Agustus 2024.

Versi audio dari artikel ini bisa didengarkan di sini

Share artikel ini lewat Whatsapp.

ᵔᴥᵔ


Subscribe Newsletter Email:

Secara rutin gue akan bersilaturahmi lewat email dengan macam-macam informasi yang jadi minat gue (dan semoga juga menarik buat kalian). Yuk daftar di bawah ini. Data email kalian dijamin kerahasiaannya. Tenang, gue juga gak doyan nyampah di email orang kok. ᵔᴥᵔ


#audio #go-blog